Maqamat dan Tingkatan-tingkatannya

Maqamat dan Tingkatan-tingkatannya
A.    Definisi Maqamat
Ketika kaum sufi menjalani berbagai ritual melalui riyadlah untuk menuju Tuhan, maka mereka harus melewati jalan panjang dengan beberapa terminal (station). Tahapan yang harus dilalui oleh seorang Sufi dalam Ilmu Tasawuf dikenal dengan maqam (jamak: maqamat). Maqamat dalam perspektif kaum Sufi tidaklah sama antara satu yang lainnya. Hal itu disebabkan karena maqamat adalah pengalaman individu/pribadi sang Sufi yang hanya dapat dirasakan oleh pribadi yang bersangkutan. Secara bahasa, maqamat (jama’ dari maqam) berasal dari Bahasa Arab yang berarti tidak berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan yang harus dilalui oleh kaum Sufi untuk mencapai derajat yang dekat dengan Allah. Dalam berbagai literatur Bahasa Inggris, maqamat disebut dengan stages, yang berarti tangga sementara ada juga yang menggunakan stations yang berarti terminal.[1]
Maqam adalah hasil kesungguhan dari perjuangan terus menerus, dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik.[2]
Dapat disimpulkan dari beberapa pendapat, bahwa maqamat adalah tingkatan. Secara terminologi (istilah), maqamat ialah suatu tahap yang harus ditempuh oleh seorang Sufi untuk sampai pada Allah.[3]
B.     Tingkatan -Tingkatan
1)       Al-Zuhud
    Zuhud secara istilah bermakna tidak ingin  kepada sesuatu yang bersifat keduniaan.[4] Sedangkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim zuhud adalah seseorang yang berserah diri kepada Allah dan menerima segala yang telah ditakdirkan oleh Allah.[5] Perilaku zuhud diteladani oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Rasulullah dikenal sebagai sosok yang sederhana, hidup miskin dan tidak mau bergelimang dengan harta. Dalam banyak riwayat dapat digambarkan betapa Rasulullah yang memiliki sikap zuhud, dengan rumahnya yang sangat sederhana, tempat tidur yang terbuat dari pelepah kurma, bahkan beliau terkenal dengan doanya: “Yaa Allah hidupkanlah saya dalam keadaan miskin dan matikanlah saya dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah saya nanti dihari Kiamat bersama orang miskin.” Keadaan miskin Rasulullah dalam kehidupannya memang merupakan kemauan dan kehendaknya, dan hal tersebut merupakan teladan bagi umatnya untuk tidak menampilkan kehidupan yang mewah dan glamor.[6] Sedangkan Sayyidina Abu Bakar, khalifah pertama terkenal dengan kata mutiaranya yang terkenal adalah; “Saya mendapatkan kedermawanan dalam takwa, kecukupan dalam yakin dan kehormatan dalam rendah diri.” Di pihak lain, kezuhudan Abu Bakar diriwayatkan bahwa dia meginfakkan  seluruh hartanya untuk kepentingan perang dijalan Allah. Ketika Rasulullah menanyakan, “Apa yang masih tersisa dalam rumahmu?”. Ia menjawab Allah dan Rasulnya yang masih tersisa.” Demikian juga Sayyidina Umar ibn Khattab juga diriwayatkan ketika beliau menjabat sebagai khalifah ketiga umat Islam, namun kesederhanaannya masih tetap tampak. Diriwayatkan bahwa ia pernah tertidur dengan memakai batu sebagai bantalnya dan memakai pakaian bertambal dengan kain yang berbeda warnanya. Demikian juga Utsman ibn Affan juga dikenal dengan zuhud, yaitu ia dengan segala kemampuan yang dimilikinya menafkahkan hartanya dijalan Allah Swt.
Banyak ayat yang menjelaskan tentang zuhud yaitu:
“Katakanlah kesenangan didunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.”[7]
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau, dan sugguh kampung akhirat sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tiadalah kamu memahaminya.”[8]
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal ditempatmu? Apakah kamu dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) akhirat hanyalah sedikit.[9]
b)     Al-Taubah
    Al-Taubah dari bahasa Arab, yaitu; taba, yatubu, taubatan, yang artinya kembali. Sedangkan taubah yang dimaksud oleh kalangan Sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan, disertai janji yang sungguh-sungguh, tidak mengulangi perbuatan tersebut, yang disertai melakukan amal kebajikan.
Taubah yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. Didalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat.[10] Di antaranya pada ayat berikut:
وَالَّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوْا فَاخِشَةً أَوْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْااللهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُالذُّنُوْبَ إِلاَّاللهُ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلَى مَافَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ.
   Dan juga orang-orang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka”.(QS. Ali ‘Imran, 3: 135).
c)      Al-Wara’
    Al Wara’ adalah sikap berhati-hati terhadap ketentuan-ketentuan Allah. Mereka yang memiliki sifat ini selalu berusaha agar tidak melanggar aturan Allah meskipun itu hanya kemaksiatan yang tampak kecil. Seseorang yang bersikap Wara’ adalah mereka yang selalu berhati-hati dalam segala prilakunya sehingga tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak disenangi/ diridhai Allah baik yang hukumnya makruh apalagi haram.[11]
d)     Al-Faqr
      Al Faqr adalah tidak menuntut banyak dan merasa cukup dengan apa yang telah diterima dan dianugerahi oleh Allah, sehingga tidak mengharapkan atau meminta sesuatu yang bukan haknya. Dengan demikian, seorang yang faqr selalu merasa berkecukupan dan merasa puas dalam menjalani kehidupannya. Sikap ini sangat penting sehingga manusia terhindar dari sifat serakah dan rakus. Sikap al faqr merupakan kelanjutan sikap zuhud terhadap kehidupan dunia dengan tidak terperdaya tipu daya dunia, seorang akan merasa puas dan cukup dengan apa yang diperolehnya. Selain itu sifat al faqr akan menghasilkan sifat wara’, karena dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya, ia akan bersikap hati-hati dan tidak akan menuntut suatu yang bukan haknya.
      Ajaran faqr dalam al-Quran ditegaskan dengan firman Allah. “Allah Maha Kaya, sedangkan kamu sekalian faqir.”
      Kaum sufi menisbatkan ayat ini kepada sifat mereka yang mengarahkan mereka untuk bersikap pasrah kepada semua ketentuan Allah, yaitu sebagai kesadaran yang dimiliki kaum Sufi/ para Wali yang menjadi sikap perilaku sehari-hari yang menggerakkan ibadah mereka.[12]
e)      Al-Shabr
      Kata Al-Shabr atau “sabar” secara bahasa berarti tabah hati. Ibn Ata’ mengatakan, sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap  yang baik.
      Menurut para Sufi, sabar adalah sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan dalam menerima segala persoalan-persoalan yang ditimpakan pada diri kita, sabar dalam menjalani cobaan.[13]
Didalam al-Qur’an terdapat ayat yang menerangkan tentang sabar, yaitu:
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari para Rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.[14]
“Bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka dayakan.[15]
      Semua rangkaian perjalanan kaum Sufi, harus memiliki sifat dasar ini, yaitu sabar, kerena dengannya mereka dapat melakukan riyadlah, mengingat untuk sampai kepada tingkatan tertinggi untuk bertemu Tuhan dijumpai berbagai rintangan dan arah yang tidak sedikit.
      Dalam ajaran Tasawwuf sifat sabar dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.        Sabar dalam beribadah kepada Allah.
2.        Sabar dalam menjalani larangan larangan Allah.
3.        Sabar dalam menerima cobaan dari Allah.[16]
f)       Tawakal
      Secara bahasa berarti menyerahkan diri. Al-Qusyairi mengatakan tawakal tempatnya didalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat didalam hati. Hal ini terjadi setelah seseorang hamba meyakini bahwa segala sesuatu hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Dia menganggap bahwa segala kesulitan merupakan takdir Allah.[17]  
      Al-Ghazali menekankan agar seseorang tidak salah dalam memahami tawakal, yaitu ketika memahami tawakal menyerahkan urusan kepada Allah tanpa melakukan usaha sedikitpun. Ia menyebutnya seorang yang melakukan hal itu sebagai tindakan bodoh dan hal itu diharamkan dalam syari’at. Makna hakiki dari tawakal adalah seorang meyakini bahwa sebab-sebab yang lahir itu tidak membatalkan kehendak Allah. Allah mengawasi sebab-sebab dan dasar-dasarnya pada dorongan. Manusia wajib bekerja sebagaimana diperintahkan syari’at dan wajib menyerahkan hasilnya kepada Allah.[18]
      Maka orang yang bertawakal itu terbagi dalam tiga tingkatan:
      Pertama, tawakalnya orang mukmin, dimana syaratnya ada tiga macam, sebagai mana yang dikemukakan oleh Abu Turab an-Nakhsyabi tatkala ditanya tentang tawakal, “Tawakal adalah melemparkan diri dalam penghambaan (Ubudiyyah), ketergantungan hati dengan Sang Maha Pemelihara (Rububiyyah), dan tenang dengan kecukupan.  Jika diberi akan bersyukur, jika tidak diberi tetap bersabar dan rela dengan takdir yang telah ditentukan.”
      Kedua, adalah tingkatan tawakalnya orang-orang khusus, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu al-Abbas bin ‘Atha’ al-Adami __ rahimahullah, “Barang siapa bertawakal kepada Allah bukan karena Allah, maka sebenarnya ia belum bertawakal kepada Allah sampai ia bertawakal kepada Allah, dengan Allah dan karena Allah. Ia hanya akan bertawakal kepada Allah dalam tawakalnya, bukan karena faktor sebab lain.
      Ketiga, adalah tawakalnya orang-orang kelas paling khusus (khushushul khushush). Sebagaimana yang pernah dikatakan asy-Sibli­­__rahimahullah__ tatkala ditanya tentang tawakal, “Anda selaku milik Allah hendaknya sebagaimana Anda tidak ada. Sementara Allah terhadap Anda sebagaimana tidak pernah sirna.”[19]
g)        Ridha
      Secara bahasa ridha artinya rela, suka, dan senang. Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha menentang qada’ dan qadar Allah. Seseorang yang bersikap ridha  akan menerima qada’ dan qadar  Allah dengan hati senang. Dia mampu menghilangkan kebencian dari hati sehingga yang tinggal didalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Dia senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Dia tidak meminta dijauhkan dari Neraka. Dia tidak berusaha sebelum turunnya qada’ dan qadar, dan tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qada’ dan qadar. Seseorang yang bersikap ridha  justru perasaan cintanya bergelora diwaktu menerima bala’ (cobaan yang berat).[20]
      Hanya saja, orang yang ridha dibedakan menjadi tiga kondisi:
      Pertama,  orang yang berusaha mengikis rasa gelisah dari dalam hatinya, sehingga hatinya tetap stabil dan seimbang terhadap Allah SWT. Atas kebijakan-kebijakan hukum yang diberikan-Nya. Baik berupa hal-hal yang tidak diinginkan dan kesulitan maupun hal-hal yang menyenangkan, baik berupa pemberian atau tidak diberi apapun.
      Kedua, orang yang tidak lagi melihat ridhanya kepada Allah, karena ia hanya melihat ridha Allah kepadanya. Karena Allah SWT telah berfirman, “Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 119). Sehingga ia tidak menetapkan, bahwa dirinya lebih dahulu ridha kepada-Nya, sekalipun kondisi spiritualnya tetap stabil dalam menyikapi kesulitan dan bencana maupun hal-hal yang menyenangkan, baik diberi atau tidak.
      Ketiga, adalah orang yang melewati batas itu. Ia sudah tidak lagi melihat ridha Allah kepadanya dan ridhanya kepada Allah. Sebab Allah telah menetapkan lebih dahulu ridhanya kepada mahluk. Sebagaimana yang dikemukakan Abu Sulaiman ad-Darani___rahimahullah, “Amal (perbuatan) mahluk bukanlah yang membuat dia ridha atau benci. Namun Dia memang ridha kepada sekelompok kaum, kemudian mereka dijadikan bisa berbuat dengan amal (perbuatan) orang yang diridhai. Sebagaimana pula Dia memang sudah murka terhadap sekelompok kaum, kemudian mereka dijadikan bisa berbuat dengan perbuatan orang-orang yang Dia  murkai. ”[21]



[1] Mohammad Muchlis Solichin, Ahlak & Tasawwuf (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 146.
[2] Ibid.
[3] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 116.
[4] Mohammad Muchlis Solichin, hlm. 147.
[5] Burhanul Islam Az-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim  (Surabaya:Al-Hidayah, t,t.), hlm. 7.
[6] Yang serba gemerlapan.
[7] al-Qur’an, an-Nisa’, (4): 77.
[8] Ibid, al-An’am, (6): 32.
[9] Ibid, at-Taubah, (9): 38.
[10] Moh Toriqqudin, op.cit. hlm. 118-119.
[11] Mohammad Muchlis Solichin, op. cit. hlm. 151.
[12] Mohammad Muchlis Solichin, op. cit. hlm. 151-152.
[13] Moh Toriqqudin, op.cit. hlm. 120.
[14] al-Qur’an, al-Ahqaf, (46): 35.
[15] Ibid, an-Nahl, (16): 127.
[16] Mohammad Muchlis Solichin, hlm. 154
[17] Moh Toriqqudin, hlm. 120.
[18] Mohammad Muchlis Solichin, op. cit. hlm. 155.
[19] Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma’ (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), hlm. 106-107.
[20] Moh Toriqqudin, op.cit. hlm. 121.
[21] Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma’ (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), hlm. 110-111.

REFERENSI
As-Sarraj, Abu Nashr. Al-Luma’ . Surabaya: Risalah Gusti, 2002.
Az-Zarnuji, Burhanul Islam. Ta’limul Muta’allim. Surabaya: al-Hidayah, t,t.
Solichin, Mohammad Muchlis. Ahlak & Tasawwuf. Surabaya: Pena Salsabila, 2014.
Toriquddin, Moh. Sekularitas Tasawuf. Malang: UIN-Malang Press, 2008.