http://serikatnews.com |
A. HADITS QUDSI
Menurut bahasa, qudsi- artinya suci. Disebut qudsi- karena pembicaraannya itu secara eksplisit dinyatakan berasal dari Allah (yang harus diyakini akan keyakinannya), dan disebut hadits karena nabi yang menjadi sumbernya (riwayat itu disandarkan kepada nabi). Berbeda dengan hadits qudsi adalah Al-Qur’an, karena Al-Qur’an hanya disandarkan kepada Allah. Pada umumnya dikatakan bahwa Al-Qur’an itu wahyu Allah yang redaksinya dari Allah, sedangkan hadits qudsi adalah wahyu Allah yang redaksinya dibuat oleh Nabi sendiri. Contoh hadits qudsi:
قَالَ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, قَالَ اللهُ تَعَالَى... الَصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّوْمُ لِى وَأَنَا أَجْرِى بِهِ. إِذَاكَانَ يَوْمَ صَوْمُ أَحَدُكًمْ فَلَا يَرْفُثْ. . . وَلَا يَسْحَبْ
Artinya: “Nabi mengatakan, Allah telah berkata “…puasa itu perisai. Puasa itu untukKu (Allah), dan Akulah yang akan membalasinya. Bila ada yang berpuasa , hendaknya jangan berkata kotor.Secara istilah: terdapat banyak definisi dengan redaksi yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari semua definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits qudsi adalah segala yang diberitakan Allah SWT kepada Nabi SAW, selain Al-Quran, yang redaksinya disusun oleh Nabi SAW.
Disebut hadits, karena disusun sendiri oleh Nabi SAW. dan disebut qudsi karena hadits ini suci dan bersih (Ath-Thaharah wa At-Tanzih) dan datangnya dari Dzat yang Maha Suci. Hadits qudsi ini juga sering disebut dengan hadits Ilahiyah atau hadits Rabbaniah. Disebut Ilahi atau Rabbani karena hadits ini datang dari Allah rabb al-‘alamin.
B. HADIST MARFU’
AlMarfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.
Contohnya;
a) Perkataan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan sahabat,”Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepadaku begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya bersabda begini”; atau yang semisal dengan itu.
Dalam penyampaianya ada beberapa kalimat yang bisa menjadi tanda dari Hadits Marfu diantaranya:
1. Jika yang berbicara sahabat:
a) Kami telah diperintah (امرنا ).
b) Kami telah dilarang (نهينا عن).
c) Telah diwajibkan atas kami (اوجب علينا).
d) Telah diharamkan atas kami (حرم علينا).
e) Telah diberi kelonggaran kepada kami (رخص لنا).
f) Telah lalu dari sunnah (مضت السنة).
g) Menurut sunnah (من السنة).
h) Kami berbuat demikian di zaman Nabi (كنا نفعل كذا فى عهد النبي ص).
i) Kami berbuat demikian padahal Rasulullah masih hidup(كنا نفعل كذا و النبي)
2. Jika yang meriwayatkanya tabi`in:
a) Ia merafa`kanya kepada Nabi SAW (يرفعه).
b) Ia menyandarkanya kepada Nabi SAW (ينميه).
c) Ia meriwayatkanya dari Nabi SAW (يرويه).
d) Ia menyampaikanya kepada Nabi SAW (يبلغ به).
e) Dengan meriwayatkan sampai Nabi SAW (رواية).
3. Jika di akhir sanad ada sebutan (مرفوعا) artinya: keadaanya diMarfu`kan.
C. HADIST MAUQUF
Mauquf menurut bahasa berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadis pada sahabat. Mauquf menurut pengertian istilah ulama hadis adalah:
مَا اُضِيْفَ إِلَي الصَحَابِيْ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ نَحْوٍ مُتَّصِلًا كَانَ مُنْقَطِعًا
“Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, baik dari perkataan, perbuatan, atau taqrir, baik bersambung sanadnya maupun terputus.”Sebagian ulama mendefinisikan hadis mauquf adalah:
الحديث الذي اسند إلى الصحابي دون النبي صل الله عليه وسلم
“Hadis yang disandarkan seseorang kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah SAW.Dari berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada seorang sahabat atau segolongan sahabat, baik perkataan, perbuatan, atau persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis mauquf. Sandaran hadis ini hanya sampai kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah saw. Contoh Hadis Mauquf
Berikut ini adalah contoh hadis mauquf antara lain:
a) Hadis mauquf qauli (yang berupa perkataan)
قال علي بن طالب رضي الله عنه : حدّثوا الناس بما يعرفون أن يكذّب الله ورسوله
Ali bin Abi Thalib ra. berkata, ”Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya?”b) Hadis mauquf Fi’li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Imam Bukhari,
“Ibnu Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayammum.”c) Hadis mauquf taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan tabi’in
“Aku telah melakukan begini di hadapan salah seorang sahabat dan dia tidak mengingkariku”
D. HADIST MAQTHU’
Menurut bahasa kata maqthu‟ berasal dari akar kata قَطَّعَ يُقَطِّعُ قَطْعًا قَاطِعٌ وَمَقْطُوْعٌ yang berarti terpotong atau teputus, lawan dari maushul yang berarti bersambung. Kata terputus di sini dimaksudkan tidak sampai kepada Rasulullah saw, hanya sampai kepada tabi’in saja.
Menurut istilah hadis maqthu‟ adalah
مَا اُضِيْفَ إِلَيالتابعي أَوْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ
“Sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabi‟in dan orang setelahnya daripada Tabi’in kemudian orang-orang setelah mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan dan sesamanya.
Perbedaan antara hadis maqthu’ dengan munqathi’ adalah bahwasannya al-maqthu’ adalah bagian dari sifat matan, sedangkan al-munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadis yang maqthu’ itu merupakan perkataan tabi’in atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya bersambung sampai kepadanya. Sedangkan munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan tidak ada kaitannya dengan matan.
Dari berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada tabi‟in atau orang setelahnya, baik perkataan, perbuatan, atau persetujuannya, bersambung sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis maqthu’.
Contoh Hadis Maqthu’
a) Hadis maqthu’ qauli (yang berupa perkataan) seperti perkataan Hasan al Bashri tentang sholat di belakang ahli bid’ah:
صل وعليه بدعته
“Shalatlah dan dialah yang menanggung bid’ahnya”
b) Hadis maqthu’ fi’li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Ibrahim bin Muhammad al-Muntasyir.
كان مسروق يرخي الستر بينه وبين أهله ويقبل على صلاته ريخليهم ودنياهم
“Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya (istrinya) dan menghadapi shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”
c) Hadis maqthu‟ taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan Hakam bin‘Utaibah, ia berkata: “Adalah seorang hamba mengimami kami dalam mesjid itu, sedang syuraih (juga) shalat disitu.”
Syuraih adalah seorang tabi`in. Riwayat hadis ini menunjukan bahwa Syuraih membenarkan seorang hamba tersebut untuk menjadi imam.
Kehujjahan Hadis Maqthu’
Hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan hujjah dalam hukum syara‟ karena ia bukan yang datang dari Rasulullah saw, hanya perkataan atau perbuatan sebagian atau salah seorang umat Islam.
Dengan demikian, hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum dan bahkan lebih lemah dari hadis mauquf, karena status dari perkataan tabi’in sama dengan perkataan ulama lainnya.
DAFTAR REFERENSI
Evendimuhtar.blogspot.ca/2014/05
Nurisaariyanto.blogspot.2014/07/hadits.qudsi.marfu.mauquf.dan.maqthu.html
Solahuddin, Agus. Ulumul Hadits. Bandung:
Pustaka Setia. 2008.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi. Yogyakarta: Tiara
Wacana. 2003.