Etika, Moral, dan Akhlak

Etika, Moral, dan Akhlak
A. Pengertian Etika, Moral, dan Akhlak 
Etika adalah tata aturan yang berkaitan dengan baik dan buruknya prilaku manusia dalam kehidupan kesehariannya.
Pendapat moral menurut para ahli:
1. James Rachel: bahwa moralitas adalah usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal, yaitu untuk melakukan apa yang paling baik menurut akal, seraya memberi bobot yang sama menyangkut kepentingan setiap individu yang akan terkena tindakan itu.
2. Frans Magnis Suseno: bahwa moral mengacu pada baik buruknya manusia sebagai mansia, sehingga moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Sedangkan moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriyah. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan yang baik tanpa pamrih dan bernilai secara moral.
Kata “akhlak” berasal dari bahasa arab, jamak dari khuluqun خُلُقٌ yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. 
pixabay.com
Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun خَلْقٌ yang berarti kejadian, yang juga erat hubungannya dengan khaliq خَالِقٌ yang berarti pencipta; demikian pula dengan makhluqun مَخْلُوْقٌ yang berarti yang diciptakan.

Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk.

Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan berbagai jenis perbuatan dengan gampang dan mudah dengan tidak membutuhkan pertimbangan dan perenungan.
Menurut Muhammad bin Ali Asy syarif Al jurjani, akhlak merupakan sesuatu yang sifatnya (baik atau buruk) tertanam kuat dalam diri manusia yang darinyalah terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa berpikir dan direnungkan.

Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surah Al-Qalam: 4

Artinya Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Kata (خلق) khuluq jika tidak dibarengi adjektifnya, maka ia selalu berarti budi pekerti yang luhur, tingkah laku, dan watak terpuji.
Kata (على) ‘ala mangandung makna kemantapan. Di sisi lain ia juga mengesankan bahwa Nabi Muhammad saw. yang menjadi mitra bicara ayat-ayat di atas berada di atas tingkat budi pekerti yang luhur, bukan sekedar berbudi pekerti yang luhur. Memang Allah menegur beliau jika bersikap dengan sikap yang hanya baik, yang telah biasa dilakukan oleh orang-orang yang dinilai berakhlak mulia. Rujuklah ke awal surah ‘Abasa Wa Tawalla!

Keluhuran budi pekerti Nabi saw. yang mencapai puncaknya itu bukan saja dilukiskan oleh ayat di atas dengan kata (انك) innaka/ sesungguhnya engkau tetapi juga dengan tanwin (bunyi dengung) pada kata (خلق) khuluqin dan huruf (ل) lam yang digunakan untuk mengukuhkan kandungan pesan yang menghiasi kata (على) ‘ala disamping kata ‘ala itu sendiri, sehingga berbunyi (لعلى) la’ala dan yang terakhir pada ayat ini adalah penyifatan khuluq itu oleh Tuhan Yang Maha Agung dengan kata (عظيم) ‘adzim/ agung. Yang kecil bila menyifati sesuatu dengan “agung”- belum tentu agung menurut orang dewasa. Tetapi jika Allah yang menyifati sesuatu denga kata agung maka tidak dapat terbayang keagungannya. Salah satu bukti dari sekian banyak bukti tentang keagungan akhlak Nabi Muhammad saw. – menurut Sayyid Quthub – adalah kemampuan beliau menerima pujian ini dari sumber Yang Maha Agung itu dalam keadaan mantap tidak luluh di bawah tekanan pujian  yang demikian besar itu, tidak pula goncang kepribadian beliau yakni tidak menjadikan beliau angkuh. Beliau menerima pujian itu dengan penuh ketenangan dan keseimbangan. Keadaan beliau itu menurut Sayyid Quthub menjadi bukti melebihi bukti yang lain tentang keagungan beliau.

Sementara ulama’ memahami kata (خلق عظيم) Khuluqin Azhim dalam arti agama berdasar Firman-Nya innaka ‘ala shirathin mustaqim (QS. Az-Zukhruf [43]: 43) sedang shirath al-mustaqim antara lain dinyatakan oleh al-Qur’an sebagai agama. Sayyidah ‘Aisyah r.a. ketika di tanya tentag akhlak Rasulullah beliau menjawab akhlak beliau adalah al-Qur’an (HR. Ahmad). ‘Aisyah r.a. ketika itu membaca surat al-Mu’minun untuk menggambarka sekelumit dari akhlak beliau itu. Jika demikian, bukalah lembaran-lembara al-Qur’an, dan temukan ayat-ayat perintah dan anjuran, pahami secara benar kandungannya, Anda akan menemukan penerapannya pada diri Rasul. Beliau adalah bentuk nyata dari tuntunan al-Qur’an. Selanjutnya karena kita tidak mampu mendalami semua pesan al-Qur’an, maka kitapun tidak mampu melukiskan betapa luhur akhlak Rasulullah saw. Karena itu pula setiap upaya yang mengetengahkan sifat-sifat luhur Nabi Muhammad saw., ia tidak lain hanya sekelumit darinya. Kita hanya bagaikan menunjuk –dengan jari telunjuk gunung yang tinggi– karena lengan tak mampu merangkulnya. 

Sungguh tepat penyair al-Bushiri – setelah menyebut sekian banyak budi pekerti Nabi lalu menyimpulkan bahwa: 
و مبلغ العلم فيه انه بشر  وانه خير خلق الله كلهم
“Batas pengetahuan kita tentang beliau hanyalah bahwa beliau adalah seorang manusia, dan bahwa beliau adalah sebaik-baik makhluk Ilahi seluruhnya.” 
وَعَنْ اَنَسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya:  Dari Anas r.a., ia berkata: Rasulullah saw. Adalah manusia yang paling bagus budi perangainya. (HR. Bukhari-Muslim).
Anas bin Malik adalah salah seorang sahabat Nabi yang pernah berkhidmat (melayani) beliau selama sepuluh tahun, semasa beliau berada di Madinah.

Maka apa yang dituturkan oleh Anas di atas adalah suatu fakta berdasarkan pengamatannya sehari-hari, baik di rumah, di tengah-tengah umatnya, di medan perang dan dimana saja, yang dalam peraturannya ini dimaksudkan sebagai pengarahan bagi umatnya.

Pribadi Muhammad saw. adalah suri teladan insan Muslim tertinggi yang harus di contoh oleh setiap Muslim. 
وَعَنْهُ قَالَ: مَا مَسِسْتُ دِيْبَاجًا وَلاَحَرِيْرًا اَلْيَنَ مِنْ كَفِّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَلاَشَمِعْتُ رَائِحَةً قَطُّ اَطْيَبَ مِنْ رَائِحَةِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَلَقَدْ خَدَمْتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَمَا قَالَ لِى قَطُّ اُفٍّ, وَلاَ قَالَ لِشَيْءٍ فَعَلْتُهُ لِمَ فَعَلْتَهُ, وَلاَ لِشَيْءٍ لَمْ اَفْعَلْهُ اَلاَ فَعَلْتَ كَذَا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari Anas r.a., ia berkata: Aku belum pernah menyentuh sutra yang tebal maupun yang tipis yang lebih halus daripada tangan Rasulullah saw., dan belum pernah aku mencium bau harum yang melebihi harumnya bau Rasulullah saw. Sungguh aku telah berkhidmat melayani Rasulullah selama sepuluh tahun, namun demikian, beliau tidak pernah berkata uff (ah!) kepadaku, juga tidak pernah menanyakan (menegur) kepadaku atas apa yang telah aku lakukan, mengapa engkau berbuat begitu dan beliau pun tidak pernah memperingatkan aku atas suatu hal yang tidak aku lakukan, mengapa tidak engkau lakukan itu? (HR. Bukhari-Muslim).

Muhammad bin Abdillah saw. sebagai manusia yang dipilih Allah dengan membawa risalah suci memang memiliki kelebihan, baik fisik lahiriah beliau maupun moral beliau.
Begitulah menurut penuturan seorang sahabat yang lama berkhidmat kepada beliau, bahwa tangan beliau sangat halus, bau badan beliau sangat harum dan pergaulan beliau sangat lembut yang memancarkan kasih sayang yang mendalam dan penuh pengertian, sehingga kata Anas, selama sepuluh tahun ia berkhidmat melayani beliau tak pernah telinganya mendengar kata “uff” (ah!) diucapkan oleh beliau. Beliau tidak rewel dan tidak cerewet, mudah dilayani dan enak dalam menerima pelayanan, sehingga tak pernah menegur atau mencela dalam hal pelayanan sehari-hari yang diberikan Anas kepada beliau.

Keistimewaan pribadi Nabi Muhammad saw. dan keluhuran budi perangai beliau serta kesederhanaan penampilan dan pergaulan dengan siapa saja bahkan terhadap pelayan beliau. 
وَعَنِ الصَعْبِ بْنِ جَثَّامَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: اَهْدَيْتُ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِمَارًا وَحْشِيًّا فَرَّدَهُ عَلَىَّ فَلَمَّا رَآى مَا فِى وَجْهِى قَالَ: اِنَّا لَمْ نَرُدَّهُ عَلَيْكَ اِلَّا لِاَ نَّاحُرُمٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya:  Dari Sha’b bin Jatsamah r.a., ia berkata: Aku pernah memberi hadiah Nabi saw. seekor himar liar lalu haiahku itu dikembalikan kepadaku. Kemudian ketika beliau melihat raut mukaku (berubah karea kecewa) maka beliau bersabda: “Kami tidak menolak hadiahmu itu melainkan lantaran kami sekarang ini sedang ihram”. (HR. Bukhari-Muslim).
Nabi saw. tidak diperkenankan menerima barang sedekah untuk dirinya dan keluarganya tetapi dibolehkan menerima hadiah.

Kemudian pada suatu waktu di mana Nabi saw. sedang ihram datanglah seorang sahabat bernama Sha’b bin Jutsamah memberikan hadiah kepada beliau seekor himar (keledai) liar. Ternyata hadiah itu ditolak. Maka spontan wajah Sha’b berubah lantaran kecewa hadiahnya ditolak. Nabi saw. sebagai seorang yang arif dan cermat cepat menjelaskan, bahwa penolakannya itu bukannya lantaran ia tidak menyukai atau sebab lainnya, tetapi semata-mata karena saat itu ia sedang ihram, di mana orang yang sedang ihram dilarang memburu atau menangkap binatang liar. Maka pahamlah Sha’b dan hatinya pun menjadi tentram.

Lembutnya perhatian Rasulullah saw. dalam memberikan bimbingan dan penjelasan untuk menghindari kesalahpahaman. 
وَعَنْ اَبِى الدَّرْدَاءِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ: اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَامِنْ شَىْءٍ اَثْقَلَ فِى مِيْزَانِ الْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ, وَاِنَّ اللهَ يُبْغِضُ اْلفَاحِشَ الْبَذِىَّ. رَوَاهُ التُّرْمُذِىُّ, وَقَالَ: حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ.
Artinya: Dari Abi Darda’ r.a., ia berkata: Sesungguhnya Nabi saw. penah bersabda: “Tidak ada sesuatu (amalan) yang lebih berat timbangannya bagi seorang Mukmin di hari Kiamat nanti daripada akhlak yang luhur dan sesungguhnya Allah membenci orang yang keji mulutnya”. (HR. Tirmidzi).
Karena akhlaqul karimah merupakan pangkal dari kebaikan-kebaikan yang lain seperti dijelaskan pada penjelasan hadits No. 628, maka tidak ada amalan yang bobot timbangannya melebihi beratnya timbangan akhaqul karimah. 
وَعَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اَكْثَرِمَايُدْخِلَ النَّاسَ الْجَنَّةَ؟ فَقَالَ: تَقْوَى اللهِ, وَحُسْنُ الْخُلُقِ, وَسُئِلَ عَنْاَكْثَرِ مَايُدْخِلَ النَّاسَ النَّارَ؟ فَقَالَ: اَلْفَمُ وَ اْلفَرْجُ. رَوَاهُ التُّرْمُذِىُّ, وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., berkata: Rasulullah saw.. pernah ditanya tentang faktor yang paling dominan yang menyebabkan seorang masuk surga. Jawab beliau: “Taqwa kepada Allah dan budi pekerti yang bagus”, dan ketika ditanya tentang faktor yang paling dominan yang menyebabkan seorang masuk neraka, maka jawab beliau: “ mulut dan kemaluan”. (HR. Tirmidzi).
Faktor yang paling dominan yang menyebabkan masuknya manusia ke dalam surga, baik berupa ucapan maupun tindakan adalah taqwa dan budi pekerti yang mulia. Dikaitkannya ketaqwaan kepada Allah dengan budi pekerti yang baik adalah karena hanya budi pekerti yang baik yang didasarkan keimanan atau ketaqwaanlah yang diridhai Allah, dan bukan budi pekerti yang semata-mata didasarkan tradisi atau kebiasaan.

Sedangkan faktor yang paling dominan yang menyebabkan masuknya manusia ke dalam neraka adalah mulut dan kemaluan. Mulut merupakan sarana atau alat utama dalam komunikasi antar manusia untuk mengutarakan segala ide dan keinginan hati. Maka untuk mengutarakan ide-ide atau kemauan-kemauan yang sesat dan duhaka mulutlah sarana utamanya. Begitu juga kemaluan. Ia sering menyeret manusia jauh menurun jurang kenistaan yang menurunkan martabatnya sebagai makhluk utama karena kemauan seksualnya dilampiaskan dengan cara melanggar hukum Allah.
Setiap manusia wajib memilih cara hidup dan jalan hidup yang membawanya ke surga dan menjauhi cara hidup dan jalan hidup yang menyeretnya ke neraka. (Baca: al-Quranul Karim, Ali Imran 185) 

Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia Telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
Al-Biqa’i menghubungkan ayat ini dengan sikap sebagian orang munafik dalam perang Uhud, yang menduga dapat menghindar dari kematian sebagaimana diuraikan dalam ayat-ayat yang lalu juga pada ayat sebelum ini juga yang membicarakan pembunuhan nabi-nabi.

Di sisi lain, kita juga dapat mengatakan bahwa ayat ini masih berhubungan erat dengan tujuan utama ayat yang lalu, yakni menghibur Rasul saw.. yang mendapat tanggapan negatif dari orang-orang Yahudi itu bahwa setiap yang berjiwa siapapun ia, manusia atau makhluk lain, manusia mulia atau hina, akan merasakan mati, yakni akan mengalaminya. Kemudian setelah kematiannya ia akan mendapat balasan baik atau buruk. Semua orang termasuk yang mendustakanmu wahai Muhammad akan mendapat sebagian balasan kami sejak kematiannya. Namun ketika itu belum semua balasan dan ganjaran diberikan. Sesungguhnya wahai Muhammad dan orang-orang beriman pada hari Kiamat sajalah disempurnakan pahala kamu. Barang siapa dijauhkan dengan cepat walau sedikit dari neraka dan dimasukkan kedalam surga, maka sungguh dia telah beruntung dengan keuntungan yang pasti. Karena itu jangan jadikan seluruh perhatian kamu hanya pada kehidupan kini dan sekarang, lihatlah jauh kedepan, karena kehidupan dunia itu bagi yang tidak beriman tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Adapun yang beriman maka ia adalah kesenangan yang sekaligus mengantar mencapai kejayaan duniawi dan ukhrawi.

Ayat ini menggunakan kata (ذائقة) dza’iqah untuk kematian yang diterjemahkan di atas dengan merasakan/ mencicipi kematian, untuk mengisyaratkan bahwa ia adalah mukadimah dari sesuatu. Bukankah jika Anda mencicipi sesuatu, anda mengetahui sekelumit rasanya untuk kemudian setelah dirasakan/ dicicipi ia dimakan dalam kadar yang lebih banyak dari apa yang dicicipi itu. Sakit yang dirasakan dalam kematian atau kenikmatannya adalah bagian kecil dari kepedihan dan nikmat yang dirasakan. Untuk diketahui bahwa bagi orang mukmin mati adalah nikmat, karena sesaat sebelum datangnya kematian malaikat menunjukkan tempatnya di surga.  

kata (زحزح) zuhziha yang diterjemahkan dengan dijauhkan, dipahami oleh banyak ulama’ dalam arti dijauhkan dengan menarik dengan cepat. Apabila sesuatu ditarik dengan cepat, maka yang ditarik itu tidak dapat terlalu menjauh dari tempatnya semula. Ini berarti bahwa yang bersangkutan belum terlalu menjauh dari neraka, kendati demikian yang bersangkutan telah dinilai beruntung, karena kejauhan walau sedikit dari neraka telah mengantarnya masuk ke surga. Seperti diketahui, di akhirat nanti hanya ada dua tempat yaitu surga dan neraka. Tentu saja yang hanya tersingkir sedikit dari neraka, baru memperoleh surga yang paling rendah tingkatnya.

Bahwa yang bersangkutan di tarik dengan cepat, mengisyaratkan bahwa neraka itu demekian panas, sehingga yang menarik untuk menyelamatkan yang bersangkutan tidak mampu belama-lama, dia hanya menariknya dengan cepat, atau bahwa neraka yang dilukiskan oleh QS. al-Mulk [67]: 8 sebagai: “Hampir-hampir saja pecah-pecah karena marah,” menarik semua yang mendekat kepadanya, sehingga siapa yang ingin diselamatkan dari amukannya, harus pula ditarik dengan cepat agar yang ditarik menarik tidak ditarik oleh neraka atau disembur oleh amarahnya.

Firman-Nya: Hari Kiamat sajalah disempurnakan pahala kamu yang disebutkan setelah menyebut kematian, menunjukkan bahwa setelah kematian dan sebelum kebangkitan pada hari Kiamat – yakni di alam Barzakh – yang meninggal dunia telah mendapat ganjaran, tetapi baru berupa panjar. Penyempurnaan siksa dan ganjaran baru akan terjadi setelah kebangkitan dari kubur, masuk ke surga atau terjerumus ke neraka. 

Kata (متاع) mata’ yang diterjemahkan di atas dengan kesenangan ada juga yang memahaminya dalam arti alat kecil, seperti pacul, periuk, piring dan sebagainya yang sifatnya tidak terlalu berharga dan cepat rusak. Nah, dunia tidak lain kecuali seperti barang itu, tetapi karena ia mempedaya, maka banyak orang yang memandangnya sebagai sesuatu yang sangat berharga, bertahan lama bahkan kekal. Mereka yang terpedaya itu bukanlah orang-orang yang beriman.     
          
وَعَنْ اَبِى اُمَامَةَ الْبَاهِلِىِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَاِنْ كَانَ مُحِقًّا. وَبٍبَيْتٍ فِى وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَاِنْ كَانَ مَازِحًا, وَبِبَيْتٍ فِى اَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَنَ خُلُقُهُ. حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ, رَوَاهُ اَبُودَاوُدَ بِاِسْنَادٍ صَحِيْحٍ.
Artinya: Dari Abi Umamah al-Bahili r.a., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Aku menjamin sebuah rumah di kebun surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan (yang berlebihan), meskipun ia di pihak yang benar, dan menjamin sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang tidak berdusta, meskipun bergurau, dan sebuah rumah lagi di surga tingkat yang tertinggi bagi orang yang memperbagus budi pekertinya”. (Hadits Shahih/Abu Daud).
Ada tiga bintang kehormatan yang akan dianugerahkan kepada tiga golongan dengan berbeda tingkatan dan kualitas amalan, yaitu: pertama rumah di taman surga bagi orang yang tidak suka melakukan perdebatan secara berlebihan, meskipun ia di pihak yang benar; kedua rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang meninggalkan omongan dusta; dan ketiga sebuah rumah di surga tingkat tertinggi bagi orang yang baik budi pekertinya.

Tingginya martabat orang yang baik budi pekertinya.

وَعَنْ جَابِرٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ: اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِنَّ مِنْ اَحَبِّكُمْ اِلَىَّ وَاَقْرَبِكُمْ مِنِّىْ مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَحَاسِنَكُمْ اَخْلَاقًا, وَاِنَّ اَبْغَضَكُمْ اِلَّى وَاَبْعَدَكُمْ مِنِّى يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُوْنَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ وَ الْمُتَفَيْهِقُوْنَ. قَلُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُوْنَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ, فَمَا الْمُتَفَيْهِقُوْنَ؟ قَالَ: الْمُتَكَبِّرُوْنَ. رَوَاهُ التُّرْمُذِىُّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ.  
Artinya: Dari Jabir r.a., ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Sesunguhnya orang yang paling aku kasihi dan paling dekat majelisnya denganku di hari Kiamat nanti adalah orang yang paling baik budi pekertinya, dan orang yang paling kubenci dan paling jauh majelisnya denganku pada hari Kiamat nanti adalah orang yang banyak bicara, tinggi pembicaraannya, dan berlagak menunjukkan kehebatannya”. Mereka bertanya: Ya Rasulullah, kami telah tahu siapa itu ats-tsartsarun dan al-mutasyaddiqun itu, tetapi apa itu al-mutafaihiqun? Beliau menjawab: “Al-Mutafaihiqun itu ialah al-mutakkabbirun (orang-orang yang sombong)”. (HR. Tirmidzi).
Orang yang paling dicintai Nabi ialah orang yang paling baik akhlaknya, sedang orang yang paling dibencinya ialah orang yang banyak bicara yang tidak membawa maslahab, orang yang omongannya tinggi yang dibuat-buat dan orang yang sombong dalam pembicaraannya, yang semuanya itu menunjukkan keburukan akhlak.